Kenapa orang Indonesia suka dengan seragam? Kadang buat jalan-jalan, buat reuni, bahkan buat perayaan hari raya.
Memang ada institusi yang membutuhkan identifikasi khusus dalam melaksanakan tugasnya, seperti polisi dan tentara. Ada juga pakaian seragam (outfit) yang kaitannya dengan keselamatan, seperti pemadam kebakaran. Kategori lainnya adalah tim yang memberikan layanan tertentu seperti di konser atau di restoran, yang memang perlu membuat orang mudah mengidentifikasi mereka agar bisa mudah mendapatkan bantuan.
Yang saya bicarakan itu seragam institusi yang sebenarnya tidak perlu seragam seperti militer, misalnya kementerian atau badan yang tugasnya memang bukan pelayanan publik atau memberi bantuan. Apalagi seragam keluarga untuk hari raya atau acara kumpul-kumpul lainnya, seragam untuk reuni, seragam untuk jalan-jalan, dan hal-hal lain, yang intinya supaya kelihatan sebagai sekumpulan orang yang harus bisa dibedakan dengan kumpulan atau orang-orang lainnya.
Kenapa sih, perlu berseragam? Ini dugaan-dugaan saya, yang basisnya bukan penelitian ilmiah, hanya pengamatan dan refleksi.
Pertama, asosiasi dengan sekumpulan orang (crowd) yang bisa menumbuhkan kepercayaan diri (confidence) yang hanya bisa tumbuh karena terasosiasi dengan sekumpulan orang lain. Kepercayaan diri ini timbul karena merasa keren (cool), kelihatan tidak sendirian atau kesepian, yang mungkin juga akan diasosiasikan dengan kebahagiaan, minimal tidak kesepian karena sendiri atau ditinggal teman/ kolega/ keluarga.
Kedua, seragam diasosiasikan dengan otoritas, kebolehan melakukan sesuatu. Asosiasi ini muncul mungkin karena budaya militerisme. Kuatnya institusi militer dan kepolisian di tengah masyarakat, membuat bahkan beberapa penipu membeli seragam militer atau polisi. Tapi lebih dari seragam bohongan dari para penipu, muncul pula seragam ormas-ormas yang menjadi merasa berhak minta uang parkir atau yang lainnya. Dalam skala yang lebih resmi, beberapa institusi seperti kementerian atau lembaga yang menurut saya tidak perlu berseragam karena tidak punya kebutuhan identifikasi personal, juga jadi punya seragam. Mengapa pegawai Kementerian Hukum dan HAM berseragam? Itupun warnanya bisa berganti, sesuai selera menteri. Mengapa jaksa harus berseragam seperti militer? Mengapa pegawai Badan Pertanahan Nasional juga berseragam seperti militer, bahkan dengan tongkat komando. Saya belum paham apa pemikiran di baliknya, selain untuk menandai otoritas. Tapi bukankah otoritas tidak dibangun dengan penampilan, tetapi dengan kompetensi dan integritas?
Mungkin alasannya kesetaraan, supaya tidak ada yang kelihatan terlalu menonjol karena baju yang berbeda. Tetapi nyatanya, yang memang ingin menonjol akan mengakali penampilannya, misalnya dengan perhiasan mahal atau dandanan maksimal. Buat saya soalnya bukan di penampilan, tetapi cara kita berpikir tentang penampilan.
Ketiga, mengikuti tren penampilan. Alasan ini terutama untuk seragam keluarga pada hari raya atau hari istimewa lainnya. Memang bakal bagus sekali buat foto-foto. Tapi tren ini juga berawal dari “budaya” para ningrat. Barangkali ini adalah bagian dari watak feodal masyarakat Indonesia. Bagi keluarga-keluarga bangsawan, memang ada ketentuan soal baju-baju (bahkan motif batik) yang layak untuk digunakan untuk acara tertentu.
Anda tidak “bersalah” kalau suka seragaman untuk acara keluarga atau reuni, toh kita sekadar pakai baju yang sama yang tidak merugikan orang lain (yang salah itu kalau orang berseragam ormas kemudian “malak” orang atau menindas). Mungkin sekadar karena Anda tidak pernah memikirkan soal pakaian, “manut” saja pada keluarga 🙂 karena hanya untuk bersenang-senang dan foto-foto. Tapi saya jadi ingin mengajak kita semua mulai memikirkan berbagai dampak sampingannya. Misalnya dampak lingkungan tentang banyaknya baju yang sekali saja dipakai. Ya mungkin saja Anda akan berargumen, “beberapa kali pakai kok dan nanti akan saya sumbangkan kalau sudah bosan.” Tapi bukankah itu soalnya: seragam itu sebenarnya bukan “kebutuhan” tapi sekadar “keinginan” (what we want, not what we actually need).
Bantahannya, ya memang membantu secara ekonomi untuk para penyedia seragam itu (pengusaha kain, penjahit, dll). Ya selalu bisa ada pro dan kontra untuk suatu isu. Buat saya yang masih belajar soal hidup (hidup saya sendiri :)), refleksi soal antifeodalisme, anti-penyeragaman, dan ramah lingkungan, dapat poin banyak sekali dalam hal pro. Kalau soalnya supaya semua kelihatan sama, atau supaya tidak ada yang “hilang” ketinggalan rombongan :), menurut saya pemecahannya tetap bukan pada seragam, tetapi soal pikiran kita. Kalau soal foto bagus, bisa juga janjian soal warna pakaian, tetapi tidak perlu beli baru, apalagi kalau mahal.
Dampak sampingan lain, karena seragam sudah menjadi tren, dalam pengamatan saya, cukup banyak keluarga yang mungkin prioritas keuangannya bukan untuk membeli seragam, tetapi mereka memaksakan diri membeli seragam supaya tidak kalah dengan tetangga atau supaya kelihatan gaya di media sosial :). Konsumerisme.
Kita buat tren baru yuk: tidak berseragam. Ragam kata dasarnya. Bukankah lebih baik beragam daripada seragam?